SOROTAN AKADEMIK – DOSEN

Sisi Lain dari Polemik Cucu Nabi

 

16/06/2025 – Debat seputar keotentikan klan Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. masih, dan terus bergulir. Isu ini telah membelah sikap umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi dua poros: yang setuju menganggapnya otentik dan yang menolak otentisitasnya.

Tidak saja masyarakat kalangan akar rumput, para tokoh agama pun tidak kurang antusiasnya dalam menyoal isu ini. Ya, isu ini memang penting karena ‘tentang’ tokoh agama. Meskipun agama Islam secara doktrinal dalam sejumlah ayat dan hadis tidak membeda-bedakan tiap orang berdasarkan latar belakang keturunannya, namun Nabi sebagai sosok sentral dlm keteladanan umat Muslim tidak berlebihan jika keturunannya mendapatkan tempat yang istimewa di hati umat Islam. Dan sebahagian “keturunan” Nabi di Indonesia, kebetulan, berperan sebagai tokoh agama.

Lagipula, tidak ada larangan tegas dalam agama Islam bagi siapa saja untuk mengklaim diri atau keluarga sebagai keturunan Nabi atau keturunan siapapun jua. Namun menjadikan klaim itu secara asertif, apalagi mendiskreditkan tokoh agama di luar komunitasnya untuk mendapatkan previllage khusus, kenyataannya telah menimbulkan friksi di tengah masyarakat.

Belakangan muncul sebuah kajian yang secara khusus ditujukan untuk membantah klaim cucu Nabi. Oleh para penentangnya, kajian tersbut segera dianggap merendahkan, bukan saja terhadap kaum agamawan dari kalangan “cucu Nabi” tetapi juga dari kalangan keturunan para Walisongo yang secara historis memiliki irisan genealogis dengan klan Ba’alawi.

Argumen inti dari kajian tersebut, terlepas dari tingkat dan nilai keilmiahannya, didasarkan pada adanya dugaan tentang apa yg disebut G. H. A. Juynboll sebagai “diving” (penyelundupan nama), atau tadlis dalam istilah ilmu hadis. Pertanyaannya kemudian, seberapa mudah menyelundupkan nama dalam suatu silsilah keturunan di tengah kuatnya tradisi isnad dan genealogy yang telah menjadi domain khusus bangsa Arab-Islam?

*

Menengok jauh ke belakang, sudah lazim dikenal sejak jaman Jahiliyah, bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang memiliki tradisi oral yang kuat. Ini biasanya berlaku umum pada suatu masyarakat di mana literasi tidak begitu populer. Kenyataannya sebelum Islam datang, hanya sedikit saja yang bisa membaca dan menulis. Bahkan aturan baku penulisan dalam bahasa Arab pun baru muncul jauh belakangan seiring dengan kebutuhan untuk menuliskan Al-Qur’an untuk kodifikasi dan memudahkan dalam membacanya.

Tetapi di sisi lain, peradaban Arab adalah peradaban teks. Dibandingkan dengan bangsa lain, tidak ada yang dibanggakan oleh bangsa Arab melebihi teks-teks yang mereka gubah dalam untaian puisi-puisi indah. Membaca biografi orang-orang Jahiliyah dalam daftar biografi seperti kitab al-Agani karya al-Isbahani (w. 356 H) misalnya, kita temukan bahwa hampir tiap orang Jahiliyah adalah penyair. Karenanya, mengenali bait puisi seseorang menjadi cara yang mudah untuk mengidentifikasi orang yang memiliki kesamaan nama. Puisi pun kemudian dihafalkan dan diriwayatkan secara turun-temurun.

Tidak saja menghafal puisi, bangsa Arab terbiasa menghafal nama leluhur mereka. Paling minimal tujuh nama ke atas. Juga, kebanggan bangsa Arab pada kuda-kuda cantik membuat mereka mewariskan nama-nama leluhur kuda-kuda itu. Kitab Nasab al-Khail Fi al-Jahiliyah wa al-Islam wa Akhbaruha (“Nasab Kuda di Masa Jahilyah dan Islam Beserta Kisah Ceritanya”) karya Ibn al-Kalbi (w. 206 H) atau karya serupa, kiranya menjadi contoh yang baik untuk menggambarkan keintiman mereka dengan segala sesuatu yang berbau lampau, sekaligus menandai berkembangnya disiplin genealogy.

Paralel dengan penyebaran puisi dan perkembangan genealogy, tradisi penyandaran (tribute to) dalam penyampaian berita menjadi gelaja umum yang juga kita kenal dalam periwayatan hadis, varian qira’at, dan juga sanad tarekat. Tidak juga aneh jika membuka kitab-kitab klasik, di hampir seluruh cabang keilmuan Islam, sering kali rangkaian sanad memenuhi halaman buku, panjangnya melebihi isi berita yang disampaikan.

Dalam penyampaian suatu informasi, lengkap bersama sanadnya, tiap-tiap guru memiliki kebanggaan melakukannya secara lisan di luar kepala. Bukan karena mereka tidak memiliki buku, tetapi buku disimpan di bawah meja. Fungsi buku, menurut Gregor Schoeler, tidak lebih sebagai mnemonic aid (alat bantu ingatan).

Lantas, kapan buku sebagai medium preservasi dan transmisi mulai dipergunakan dalam dunia Islam? Tidak banyak informasi yang benar-benar pasti soal ini. Yang sampai kepada kita adalah sejumlah hadis yang berisikan larangan kepada para Sahabat Nabi menuliskan sesuatu selain Al-Qur’an. Ini menjadi indikasi, sebagaimana diyakini Schoeler, bahwa tradisi menulis sudah ada sejak masa awal Islam.

Adapun buku tertua yang sampai kepada para filolog adalah kitab hadis al-Muwatha’, koleksi Imam Malik (w. 174 H). Jika tidak ditemukan kitab hadis yang lebih tua dari al-Muwatha’, ini berarti bahwa proses transmisi hadis terus berjalan melintasi generasi Sahabat, tabi’in, dan tabi’-tabi’in secara oral selama lebih dari satu setengah abad, sampai Imam Malik menuliskan kitab hadisnya.

Shahifah (lembaran-lembaran) memang ada. Ada Sahabat dan beberapa Tabi’in dikenal memiliki shahifah hadis. Tetapi sebelum al-Muwatha’, fungsi tulisan tetap saja hanya terbatas pada fungsi preservasi, dan bukan transmisi. Artinya, hadis-hadis yang jumlahnya segitu banyak, sampai kepada kita melalui jalur periwayatan oral dibandingkan dengan transmisi secara tulisan.

*

Terlepas setuju atau tidak setuju dengan bantahan dan argumen Kyai Imaduddin Kresek tentang ketersambungan nasab klan Ba’alawi kepada Nabi Muhammad saw., yang jelas ia telah berhasil membawa isu yang sudah usang ini ke altar perdebatan, yang mengundang banyak sekali perhatian. Berbagai alternatif pengujian pun, sebetulnya, bisa dan sudah dilakukan. Antara lain melalui test DNA, kajian filologi, sejarah, fenomenologi, dan lain sebagainya.

Secara hipotetis, andai bantahan Kyai Imad benar adanya, maka betapa mudahnya sistem geneologi ini kebobolan. Demikian pula halnya dengan hadis. Banyaknya kepentingan membuat hadis tidak selalu selamat dari pemalsuan sehingga mendorong dilakukannya pemilahan dan perivikasi (tahqiq wa taustiq) secara ketat di kalangan ulama hadis.

Lebih lanjut, manakala bantahan itu didasari pada argumen positivistik atas kealpaan dokumen sejaman yang memberikan konfirmasi (itsbat) atas tersambungnya silsilah klan dimaksud, maka apakah kita juga patut curiga pada otentisitas hadis, tafsir, dan berbagai materi riwayat yang sampai kepada kita? Mencari ini semua lebih fundamental dalam agama dibanding “yang itu”, bukan?!

Wallahu a’lamu bish-shawab [ ]

(Dosen Bahasa dan Sastra Arab FUDA, UIN SMH Banten)

Dr.H.Lalu Turjiman Ahmad, M.A

Tulisan Terbaru

  • 16/06/2025 Sisi Lain dari Polemik Cucu Nabi