SOROTAN AKADEMIK – MAHASISWA

Feodalisme dalam Hubungan Santri dan Kiai: Antara Tradisi, Adab, dan Tantangan

 

17/06/2025 – Dalam tradisi pesantren, hubungan antara santri dan kiai sering kali bersifat hierarkis, dengan kiai sebagai figur otoritas tertinggi dalam bidang keilmuan, spiritualitas, dan kehidupan sosial pesantren. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah hubungan ini merupakan bentuk feodalisme atau lebih kepada adab dan penghormatan dalam Islam? Untuk menjawabnya, perlu ditinjau dari sudut pandang dalil syariat serta perkembangan pesantren di era modern.
Pesantren juga memiliki sistem yang menempatkan kiai sebagai pusat keilmuan dan kepemimpinan. Dalam banyak kasus, santri diharapkan untuk taat dan patuh kepada kiai tanpa banyak mempertanyakan keputusan yang dibuat. Model ini sering dibandingkan dengan sistem feodal, di mana terdapat hubungan patron-klien yang kuat. Namun, dalam Islam, penghormatan terhadap ulama bukanlah bentuk feodalisme, tetapi bagian dari adab terhadap ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama.” (Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Penghormatan terhadap ulama juga diperkuat dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul (Nya), dan kepada ulil amri di antara kamu.”
(QS. An-Nisa: 59)

Ulama dalam hal ini termasuk kiai yang membimbing umat dalam ilmu agama. Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan buta, melainkan dalam batas-batas syariat Islam.
Feodalisme atau Adab?
Dalam Islam, ketaatan kepada guru tidak boleh bersifat mutlak seperti dalam sistem feodal, di mana seorang bawahan harus tunduk tanpa kritik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan umatnya agar tetap berpikir kritis dan tidak mengikuti pemimpin secara buta:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.”
(Hadis riwayat Ahmad dan Al-Hakim)

Selain itu, Islam mengajarkan bahwa penghormatan terhadap ulama harus didasarkan pada ilmu dan ketakwaan mereka, bukan sekadar posisi sosial atau tradisi. Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fatir: 28)
Dengan demikian, penghormatan kepada kiai harus tetap dalam koridor syariat. Jika ada ajaran atau perintah yang bertentangan dengan Islam, santri berhak untuk mempertanyakan dan tidak mengikutinya. Kemudian Transformasi Hubungan Santri dan Kiai Di era digital bisa berupa akses santri terhadap ilmu semakin luas. Mereka tidak hanya belajar dari kiai, tetapi juga dari berbagai sumber lain seperti kitab digital, ceramah online, dan diskusi akademik. Hal ini mulai mengubah pola hubungan yang sebelumnya sangat hierarkis menjadi lebih dialogis.
Banyak pesantren kini mendorong santrinya untuk berpikir kritis dan mandiri, sebagaimana dalam firman Allah:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ayat ini menunjukkan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban, tetapi juga menekankan pentingnya belajar dari orang yang berkompeten. Dengan demikian, santri tetap harus menghormati kiai, namun juga harus aktif dalam mencari pemahaman yang lebih luas. Meskipun dalam beberapa aspek hubungan santri dan kiai tampak feodal, namun akar dari hubungan ini lebih kepada penghormatan dalam Islam. Feodalisme dalam arti negatif, yang mengekang kebebasan berpikir, bertentangan dengan ajaran Islam yang mendorong ilmu dan pemahaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (Hadis riwayat Muslim)

Oleh karena itu, hubungan ini harus terus berkembang ke arah yang lebih dialogis dan adaptif terhadap zaman, tanpa menghilangkan nilai-nilai adab dan penghormatan terhadap ulama. Dengan keseimbangan antara adab dan pemikiran kritis, pesantren dapat terus menjadi lembaga pendidikan yang relevan dan progresif di era modern.
Tulisan ini hanyalah pendapat penulis belaka sebagai respon terhadap maraknya oknum-oknum yang sering mempropagandakan dan memojokkan pesantren seolah-olah yang dilakukan oleh orang-orang yang masuk dalam hierarki pesantren termasuk kiyai dan santri adalah tindakan komersialisasi agama.

Wallahulmuafiq Ilaa Aqwamittoriq

Ade Furqon Hakim
(Ketua Umum Dewan Eskekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Adab)

Ade Furqon Hakim

Tulisan Terbaru

  • 17/06/2025 Feodalisme dalam Hubungan Santri dan Kiai: Antara Tradisi, Adab, dan Tantangan