Kampus 1
Kampus 1
Kampus 2
Jl. Jendral Sudirman No.30. Serang - Banten 42118 Senin-Jumat (08.00 - 16.00 WIB)
Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani No. 1. Serang - Banten 42171 Senin-Jumat (08.00 - 16.00 WIB)

Menggali Budaya dan Kekayaan Banten (Sejarah dan Arkeologi)

FUDA | Jumat (26/05/2023) – Diskusi Dosen Fakultas Ushuluddin dan Adab dimulai kembali setelah tawakuf selama Ramadan dan hari raya Idul Fitri 1444 Hijriyah. Ruang Sidang FUDA, mulai diramaikan lagi oleh para dosen dan mahasiswa yang antusias menambah pengetahuan yang menarik dalam diskusi kali ini.

Mohamad Ali Fadhilah, DEA., Ph.D. (dosen Arkeologi SPI), Dr. Hj. Ida Nursida, M.A. (Dosen BSA), dan Dr. Hj. Eva Syarifah Wardah, M.Hum. (dosen SPI) menjadi narasumber dalam diskusi dosen kali ini. Masing-masing narasumber membahas satu tema dalam diskusi, dengan durasi waktu 20 menit untuk menyampaikan pembahasan tema tersebut.

Dr. Hj. Ida Nursida, M.A. menjadi narasumber pertama yang menyampaikan materi kepada para audiens. Tema yang diangkat oleh Dr. Hj. Ida adalah “Lirik lagu karya Noe Letto: Antara Simbolisme Sufistik dan Musik Populer.” Tema yang sangat menarik perhatian para audiens.

“Terdapat dua lagu Letto yang mengandung nilai-nilai Sufistik dalam lirik lagunya. Dua judul lagu itu adalah ‘Sebelum Cahaya’ dan ‘Sandaran Hati’. Saya menggunakan teori Ilmu Semiotik yang dapat mengungkap makna terdalam dan tersembunyi dalam sebuah teks, karena semiotik memperlakukan teks sebagai kumpulan tanda. Lirik lagu Letto yang berjudul Sebelum Cahaya, Sabrang (pencipta lirik lagu) menuliskan beberapa simbol yang memiliki makna, yaitu penggunaan huruf kapital dan non kapital pada awal kata ‘aku, kamu, dan lainnya’. Sehingga hal ini menunjukkan makna bahwa kata tersebut adalah untuk membedakan penggunaan kepada manusia dengan makhluk.” Terang Dr. Hj. Ida.

Narasumber selanjutnya adalah Dr. Hj. Eva Syarifah Wardah, M.Hum. Sebagai dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) FUDA UIN SMH Banten, Dr. Hj. Eva menyampaikan materi dengan tema “Akulturasi Budaya dalam Kuliner Tradisional Banten.” Dr. Hj. Eva, menerangkan bahwa beberapa makanan tradisional yang sering kita temukan dan konsumsi di Banten merupakan hasil modifikasi dari makanan negara lain.

“Pertama, saya sampaikan bahwa sejak zaman dulu, Banten sudah terkenal dengan kekayaan alamnya, terutama rempah-rempah yang banyak diburu oleh negara lain. Rempah-rempah ini sering digunakan oleh masyarakat Banten sebagai bahan obat-obatan, seperti lada, jahe, kunyit, dan sebagainya karena memiliki khasiat yang besar untuk kesehatan tubuh. Selain itu, rempah-rempah ini juga digunakan sebagai bahan makanan. Selanjutnya, banyak para pedagang dari negara lain yang datang ke Banten. Terutama dari Eropa, Cina, dan Arab. Hal ini memengaruhi beberapa budaya di Banten, terutama kuliner tradisional Banten yang kita kenal sekarang. Misalnya, nasi samin atau nasi kebuli. Nasi samin atau nasi kebuli merupakan olahan nasi yang mirip dengan nasi bukhori dari Arab atau nasi briyani dari India.” Terang Dr. Hj. Eva.

Lebih lanjut, Dr. Hj. Eva menerangkan pengaruh Cina terhadap kuliner tradisional di Tangerang, dan pengruh negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Mohamad Ali Fadhilah, DEA., Ph.D. menjadi narasumber terakhir yang menyampaikan materi diskusi dosen kali ini. Sebagai dosen Arkeologi, beliau menyampaikan materi dengan tema “Refleksi Budaya Pra-Islam di Selatan Banten: Perspektif Sejarah dan Arkeologi.” Materi yang sangat berbobot ini memberikan banyak pengetahuan baru tentang kehidupan masyarakat Banten di masa lalu.

“Pada masa pra-Islam atau sebelum Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Banten, telah ditemukan beberapa bukti-bukti sejarah tentang kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat Banten. Berdasarkan analogi dengan tradisi megalitik di tempat lain: Indonesia dan Asia Tenggara, secara teoretis dapat dikatakan, bahwa seri objek megalitik di pedalaman Banten juga merupakan bukti sebaran budaya Austronesia. Namun untuk menentukan titik awal migrasi, belum ditemukan bukti otentik, kecuali teori proto-type migrasi, bahwa elemen budaya megalitik tumbuh sebelum kedatangan budaya India. Elemen-elemen Hindu yang dipromosikan oleh kekuatan ekonomi politik di pesisir utara, hampir tidak menyentuh dasar kebudayaan pedalaman. Demikian juga ketika kekuasaan Islam berkembang di pesisir utara, elemen budaya megalitik menjadi pijakan dasar adaptasi budaya. Dengan begitu, jika tidak bisa dikatakan ‘produk sejarah’, penerimaan Islam di pedalaman merupakan bagian dari dinamika sejarah Banten.” Terang Ali Fadhilah, Ph.D.

Setelah semua narasumber menyamapaikan materinya, Dr. Maftuh Ajmain, M.Pd. yang menjadi moderator dalam diskusi kali ini memberika kesempatan kepada para audiens untuk menanggapi materi yang disampaikan oleh ketiga narasumber. Beberapa audiens mengacungkan tangan untuk menanggapi materi dari narasumber. Di antaranya adalah bapak Dr. Badruddin, M.A., Hadian Rizani, M.Hum., dan Saudara Haris, dari mahasiswa. Selanjutnya, Dr. Maftuh menutup diskusi dosen pada pukul 11.15 WIB, setelah kurang lebih dua jam berada di ruang sidang FUDA.